Clocks for website
<a href="http://www.clock4blog.eu">clock for blog</a>
Free clock for your blog

selamat datang di My Blog

selamat datang..!di sarangge@rtBlog.com,..semoga..! anda puas

Kamis, 22 September 2011

HAM


     
    HAK AZASI MANUSIA DALAM PERSPEKTIF   DEMOKRASI INDONESIA
 
   
Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan seperangkat hak yang menjamin derajatnya sebagai manusia. Hak-hak inilah yang kemudian disebut dengan hak asasi manusia, yaitu hak yang diperoleh sejak kelahirannya sebagai manusia yang merupakan karunia Sang Pencipta.[1] Karena setiap manusia diciptakan kedudukannya sederajat dengan hak-hak yang sama, maka prinsip persamaan dan kesederajatan merupakan hal utama dalam interaksi sosial. Namun kenyataan menunjukan bahwa manusia selalu hidup dalam komunitas sosial untuk dapat menjaga derajat kemanusiaan dan mencapai tujuannya. Hal ini tidak mungkin dapat dilakukan secara individual. Akibatnya, muncul struktur sosial. Dibutuhkan kekuasaan untuk menjalankan organisasi sosial tersebut.
Hubungan demokrasi dan HAM sudah dinyatakan dalam banyak kesepakatan seperti Declaration of Human Rights, International Covenant on Civil and Political Rights, International Covenant on Social, Economic and Cultural Rights, Solidarity Rights dan berbagai macam konvensi tentang hak asasi manusia.
Demokrasi itu bisa terwujud kalau ada hak asasi manusia, terutama International Covenant on Civil and Political Rights, dan karena hak dan kebebasan politik itu baru pada tahap potensial, karena dalam praktek belum tentu semua bisa menggunakan itu, maka International Covenant on Social, Economic and Cultural Rights juga menjadi penting untuk mewujudkan demokrasi.
Sesungguhnya dua jenis HAM itu merupakan prasyarat untuk wujudnya demokrasi. Tetapi supaya HAM ini semuanya bisa ditegakkan seterusnya, maka pluralisme politik dan the rule of law itu menjadi instrumen yang sangat strategis untuk menegakkan hak asasi manusia. HAM tidak bisa ditegakkan kalau Rule of Law itu tidak bisa ditegakkan, karena itu demokrasi, hak dan kebebasan politik itu bisa dijamin kalau dua jenis HAM tadi dijamin, karena dari segi ini HAM itu merupakan prasyarat bagi demokrasi.
 Berdasarkan penelusuran sejarah, konsep dasar hak asasi manusia mulai berkembang dalam wacana politik di Eropah Barat pada abad-abad pertengahan sejalan dengan berkembangnya paham kebangsaan yang kemudian mengilhami terbentuknya negara-negara bangsa yang modern dan sekuler.
Ketika itu negara bangsa yang tumbuh dan berkembang sangat dipengaruhi oleh pola yang sentralistis di tangan para penguasa tunggal yang bekerja secara absolut yang semula legitimasinya didasarkan pada konsepsi teokrasi.

Keadaan ini tentu saja memancing timbulnya berbagai konflik antara para penguasa dan warga negara atau antara kekuasaan dan kebebasan.

Kekuasaan raja-raja merambah ke suatu negeri beserta seluruh rakyatnya dan hanya berkuasa atas teritori tertentu dan dalam urusan-urusan duniawi saja. Hal ini kemudian memunculkan persoalan tentang legitimasi atas kekuasaan seorang raja.

Yang dipertanyakan adalah dari mana raja memiliki kekuasaan atas teritori dan urusan keduniawian. Persoalan itu tidak muncul ketika teori ketuhanan dalam wacana kedaulatan masih berlaku sebab dengan teori ketuhanan raja yang berkuasa dianggap memiliki legitimasi sebagai wakil Tuhan atau pelaksana kekuasaan Tuhan.

Bahkan ada yang mengaku dirinyalah Tuhan itu. Namun, setelah kekuasaan raja-raja dan kaisar itu dibatasi pada urusan-urusan duniawi atau disekularkan, sehingga raja dan kaisar tidak lagi berkuasa atas urusan-urusan rohani umat yang universal dan yang melintasi teritori dan kebangsaan, mulai timbullah pertanyaan tentang dasar legitimasi bagi seorang raja.

Sekularisasi kekuasaan raja-raja ditimbulkan oleh konflik yurisdiksi antara raja dan gereja (Paus) yang berkuasa pada abad ke-13 dan ke-14. Pada satu pihak raja dengan lambang kekuatan nasionalnya melakukan ekspansi untuk melebarkan kekuasaannya atas wilayah-wilayah lain beserta seluruh penduduknya yang sebangsa, sedangkan Paus berusaha menegakkan kekuasaan politik gerejanya atas semua insan yang beragama Kristen tanpa membedakan kebangsaan dan wilayah yang didiaminya.

Benih sekularisasi atas kekuasaan raja ini sebenarnya dimulai dari pernyataan Paus Gregorius VII yang pada tahun 1075 mengeluarkan Dictatus Papae. Sangat berbeda dengan pandangan Augustinian yang berkembang sebelum itu, Dictatus Papae ini ternyata memberi pengakuan atas kekuasaan kaisar dan raja-raja untuk memerintah suatu teritori terbatas tertentu dalam masalah-masalah duniawi meskipun tetap dikatakan bahwa kedudukan raja itu berada di bawah Paus dan pendeta.

Dari sini, dasar legitimasi kekuasaan raja yang semula bisa dikaitkan dengan Tuhan menjadi tidak ada lagi, karena urusan perintah Tuhan atau pembinaan rohani masyarakat dilakukan oleh Paus dan para pendeta atau gereja-gereja.

Raja tidak berkuasa atas nama Tuhan karena yang berkuasa atas nama Tuhan adalah Paus, pendeta-pendeta, dan gereja-gerejanya, tetapi berkuasa karena manusia melalui kesepakatan atau perjanjian masyarakat (social contract).

Di dalam rasionalisasi ini disebutkan bahwa raja berkuasa karena ada perjanjian masyarakat yang memberi kekuasaan duniawi kepada raja untuk mengatur perbedaan kepentingan yang kerapkali berbenturan ketika manusia masih dalam status naturalis. Dengan teori ini para penduduk yang tadinya dikuasai secara mutlak oleh raja menjadi berani menyatakan statusnya sebagai warga negara yang melalui suatu kontrak sosial yang konstitusional dan legal memberi amanat untuk memerintah kepada mereka yang dipercaya dapat menata dan mengelola kehidupan para warga negara itu.

Dengan rasionalisasi ini pula menjadi jelas bahwa sumber kekuasaan (legitimasi) raja atau pemerintah itu adalah rakyat dengan kedaulatannya. Inilah akar teori kedaulatan rakyat yang kemudian disebut demokrasi. Dengan teori ini, dasar kekuasaan negara itu bukan lagi vox Dei (suara Tuhan), tetapi vox populi (suara rakyat) meskipun kerapkali keduanya disetarakan atau yang satu dinisbahkan ke yang lain melalui ungkapan vox populi, vox Dei `suara rakyat adalah suara Tuhan’. Inilah dasar legitimitas yang baru (menggantikan teori kedaulatan Tuhan) bagi kekuasaan pemerintah.

Jadi, sebenarnya demokratisasi dalam ketatanegaraan di Eropa Barat itu pertama-tama tidak muncul karena reaksi penolakan terhadap sentralisasi clan absolutisme kekuasaan negara dan pemerintahan, melainkan merupakan konsekuensi logis dari sekularisasi kekuasaan tersebut yang semula disandarkan pada teori ketuhanan atau teokrasi (untuk) kemudian diberi rasionalitas baru yakni kedaulatan rakyat atau demokrasi (Mahfud MD, 1999 : 96).

Pada proses pencarian keseimbangan ulang antara kekuasaan dan kebebasan dalam proses sekularisasi dan demokratisasi itulah lahir ide konstitusionalisme yang hendak menjamin kebebasan asasi manusia dalam kedudukannya sebagai warga di hadapan negara. Dengan demikian, gagasan konstitusionalisme jelas bukan merupakan fungsi residual kekuasaan negara beserta aparat pemerintahannya, melainkan sebaliknya konstitusi itu merupakan fungsi residual kebebasan dan hak-hak dasar manusia yang diserahkan (sebagai sisa) kepada negara.

Artinya, besar kecilnya kekuasaan negara itu akan sangat ditentukan oleh kesediaan warga negara menyisakan sebagian hak dan kebebasannya untuk diurus (diamanatkan kepada) negara melalui kesepakatan di antara mereka.


Dan kesepakatan tentang residu hak dan kebebasan yang diamanatkan kepada negara itulah yang kemudian dituangkan di dalam konstitusi dan berbagai jabaran implementatifnya ke dalam undang-undang (Mahfud, 1999).

J.J. Rousseau dapat dicatat sebagai salah seorang pemikir besar yang memberi konstribusi bagi gagasan seperti ini ketika mengatakan bahwa dasar kekuasaan negara adalah suatu kontrak antara seluruh masyarakat untuk membentuk suatu pemerintahan yakni segolongan manusia yang diberi kuasa untuk menjalankan pemerintahan dengan batas-batas yang ditentukan oleh konstitusi, tidak lagi berdasarkan teori ketuhanan tetapi berdasarkan kedaulatan rakyat.

Gagasan untuk membatasi kekuasaan negara yang dapat menjamin kebebasan dan hak dasar warga negara pada awalnya memang dilontarkan oleh pemikir dan politisi yang cenderung mewakili kepentingan kaum aristokrat dan borjuis elit (seperti Magna Charta 1215 atau Habeas Corpus 1689 di Inggris).

Namun, sejak abad ke-18 paham konstitusionalisme itu kian menjadi populis sehingga - tidak lagi terbatas pada aristokrat dan borjuis elit melainkan lebih ditekankan pada seluruh warga negara.

Pada Revolusi Kemerdekaan Amerika tahun 1776 dan Revolusi Perancis 1789 sifat populis tampak sangat kuat pada perjuangan konstitusionalisme yang juga menuntut dibangunnya negara-negara bangsa yang berdasar atas hukum (rechtsstaat dan the rule of law).

Konsep rechtstaat menggariskan ciri-ciri : (1) adanya perlindungan terhadap hak asasi manusia, (2) Adanya pemisahan dan pembagian kekuasaan negara untuk menjamin perlindungan HAM, (3) Pemerintahan berdasarkan peraturan, dan (4) Adanya peradilan Administrasi.

Sedangkan ciri-ciri pada the rule of law adalah : (1) Adanya supremasi aturan-aturan hukum, (2) Adanya kesamaan kedudukan di depan hukum, dan (3) Adanya jaminan perlindungan HAM.

Sebenarnya pengalaman sejarah Amerika itulah yang banyak memberi ilham bagi munculnya tuntutan untuk memberikan pangakuan HAM bagi khalayak karena sejarah Amerika sendiri memang tidak pernah mengenal kelas aristokrat. revolusi borjuis di Perancis 1789 yang kemudian berubah total menjadi revolusi rakyat yang sangat terkenal sebagai Glorious Revolution itu sebenarnya diilhami oleh revolusi di Amerika 1776 yang sangat populis itu.

Mengingat pentingnya kedudukan hak-hak asasi manusia, yang ternyata mempunyai hubungan dasar yang erat dengan struktur dan merupakan inti daripada sistem demokrasi yang berkaitan dengan martabat manusia, kiranya tidak berlebihan jika hak-hak asasi manusia itu disebut dengan : sudut susila demokrasi, (Koentjoro Purbopranoto, 1975 : 88).

Setelah Perang Dunia II bermunculan negara-negara bangsa di Asia dan Afrika yang meniru model negara-negara bangsa yang pernah berkembang sebelumnya di Eropa. Kenyataan itu dapat dipahami sebagai konsekuensi dari kenyataan bahwa para nasionalis clan perintis kemerdekaan di Asia dan Afrika merupakan tokoh-tokoh yang mengalami pendidikan Eropah dari para pendidik kolonialnya.

Mereka memang tidak secara total meniru model Eropa melainkan melakukan modifikasi sesuai dengan tuntutan kondisi sosio-kultural tanpa meninggalkan konsep pokoknya. Meskipun mereka dapat memahami semua substansi kognitif tentang negara bangsa seperti di Eropa, dalam kenyataanya tidak mudah untuk begitu saja menghayati tradisi ketatanegaraan Eropa dengan segala nilai-nilai dasarnya.

Ada kecenderungan pada para nasionalis bumiputera untuk bersikap formalistik dalam persoalan persoalan ketatanegaraan dan politik. Oleh sebab itu, meskipun para nasionalis negara-negara Asia dan Afrika itu cukup pandai menyusun konstitusi seperti yang berkembang di Eropa, sesungguhnya mereka tidak banyak memikirkan atau bermaksud merujuk ke dasar-dasar konstitusionalisme yang mendasari berbagai konstitusi di negara negara-negara Eropa. Ini disebabkan oleh pengaruh akar budaya mereka.

Menurut Ignas Kleden, sebagaimana dikutip Rhoda E. Howard menegaskan bahwa kontekstualisasi demokrasi dipahami secara berbeda khususnya yang terjadi di Asia. Atas nama “nilai-nilai Asia” menjadi alasan dan dalih yang membenarkan pelanggaran prinsip-prinsip demokrasi dan pelanggaran hak-hak politik masyarakat karena baik pembangunan ekonomi (dalam versi Lee Kuan Yew), maupun pembangunan politik (dalam versi Soeharto) dianggap dijalankan oleh Negara (Rhoda E. Howard, 2000).

 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar